Bismillahirrahmaanirrahiim.
Sebelum kami sampaikan hasil-hasil analisis seputar Pileg April 2014, perlu ditekankan bahwa analisis ini mengacu hasil Quick Count beberapa lembaga yang rata-rata memperlihatkan trend hasil serupa. Jadi analisis ini bukan berdasar Real Count yang akan dikeluarkan oleh KPU. Mohon dimaklumi.
Sebenarnya, sehari setelah Pileg, ketika trend hasil Quick Count sudah keluar, kami ingin segera menurunkan beberapa hasil telaah. Tapi kami sedikit menahan diri, agar tidak terkesan kontroversial jika ada analisis berbeda. Ternyata, beberapa analisis itu sama dengan yang diutarakan oleh beberapa pengamat/pemerhati politik. Syukurlah, sudah terwakili.
Baik, mari kita mulai kaji sedikit demi sedikit, tentang hasil Pileg April 2014:
[1]. Kita mulai dari hal sederhana: “Bolehkah seseorang berterus-terang akan memilih atau telah memilih partai tertentu dalam Pileg?” Pemerintah Orde Baru telah mencengkeram rakyat sedemian rupa sehingga sekedar untuk berterus-terang telah memilih partai ini atau itu saja, masyarakat masih merasa segan. Betapa mahalnya ya harga kemerdekaan hidup di negeri ini. Boleh, boleh, silakan saja Anda berterus-terang telah memilih atau akan memilih partai tertentu; tidak perlu malu. Asalkan, apapun pilihannya, kita tetap berdamai, tidak emosi, tidak konflik satu sama lain. Anggap saja semua itu sebagai bagian dari sikap toleransi dalam politik. Lagi pula hal itu tidak melanggar hukum (negara dan Syariat), serta lebih menguntungkan untuk memperjelas posisi seseorang dalam politik.
[2]. Beberapa hari sebelum Pileg April 2014, Burhanuddin Mubtadi, pengamat politik “paling hebat” yang pernah lahir di bumi Nusantara, dia sesumbar bahwa seruan MUI (ormas Islam) agar Umat Islam memilih para Caleg Muslim tidak berpengaruh besar. Sesuai hasil Quick Count, justru suara partai-partai Muslim meningkat semua, kecuali PKS. Mungkin orang bertanya, “Kenapa bisa begini?” Ya itu tadi, pengaruh seruan MUI (ormas Islam) agar waspada dengan politik Nasrani, Jokowi, dan para konglomerat China pengemplang 600 triliunan BLBI. Suara MUI (ormas Islam) masih dihargai kaum Muslimin; berbeda dengan suara Burhanuddin Mubtadi yang akhir-akhir ini tampak satu paketan dengan gerakan “Mafia Jokowi Raya”.
[3]. Kondisi Pemilu April 2014 mirip dengan situasi Pemilu 1999, sekitar 15 tahun lalu. Saat itu seruan MUI agar tidak memilih Caleg non Muslim, mampu “mentorpedo” peluang kemenangan mutlak PDIP. Tahun 2014 ini lebih parah situasinya. Kemenangan PDIP hanya sekitar 20 %, jauh dari prediksi PDIP sendiri, media-media massa sekuler, lembaga surve, pengamat politik (khushuson Burhanuddin Mubtadi). Seruan para ulama Muslim di tahun 2014 ini tidak lagi malu-malu. Masalah Caleg non Muslim, Syiah, Liberal diserukan dimana-mana. Buahnya, alhamdulillah kantong-kantong pemilih Muslim menggeliat. Inilah rahasianya mengapa suara partai-partai Muslim membaik dibandingkan hasil Pemilu 2004 lalu.
[4]. PDIP terlalu memandang sepele pengaruh informasi media. Dalam kampanye kami lihat sendiri dimana-mana ada tulisan: “Coblos PDIP No. 4 Jokowi Presiden!” Foto Jokowi ada dimana-mana, berdampingan dengan foto para Caleg PDIP. Palsu dan dusta kalau timses Jokowi mengklaim bahwa dalam iklan TV lebih banyak wajah Puan yang nongol daripada Jokowi. Justru di lapangan, di spanduk, poster-poster, kaos, dan sebagainya nama dan foto Jokowi mendominasi. Semua Caleg PDIP seakan ingin menjual “wajah polos murah senyum” Jokowi. Kami sendiri membatin, “Justru cara begini yang akan membuat PDIP rusak suaranya.” Masyarakat itu tahu siapa Jokowi, dia bisa dianggap sebagai Gubernur DKI “paling kampret”. Kenapa bisa begitu? Ya karena sejak jadi Gubernur, dia bukan fokus ngurusi masalah Jakarta, malah sibuk pencapresan. Orang ini jelas tidak amanah. Kami mengira, suara PDIP di DKI Jakarta merosot karena soal Jokowi ini. Warga Jakarta masih kesal dengan sikap khianat Jokowi. Lagi pula negeri kita seringkali rusak dengan lahirnya tokoh pencitraan semacam Jokowi, Gusdur, SBY, dan semacamnya.
[5]. Prediksi kami tentang PKB keliru. Kami menduga PKB tidak akan bagus-bagus amat, meskipun tetap lolos electoral treshhold. Alasannya, dalam 10 tahun terakhir PKB nyaris tidak punya karya apapun yang membanggakan secara politik. Tapi mengapa PKB bisa melejit sehingga berada posisi 5 besar? Mayoritas media dan pemerhati beralasan dengan istilah “Rhoma Irama Effect”. Katanya, kehadiran Rhoma menjadi magnet politik hebat bagi PKB. Kalau menurut kami, posisi Rhoma ada pengaruhnya, tapi tidak sebesar itu. Mengapa? Karena kehadiran para seniman, termasuk Rhoma Irama, dalam politik praktis selama ini tidak berpengaruh besar. Kalau masyarakat berduyun-duyun datang ka arena kampanye PKB, ya lebih banyak karena ingin “nonton Bang Haji”. Soal nanti akan memilih PKB atau lainnya, itu masalah lain. Menurut analisis kami, kemenangan PKB ini tidak lepas dari beberapa alasan: (a). Kehadiran mantan Dirut Lions Air, Rudi Kirana, di barisan elit PKB. Mungkinkah dalam hal ini Rudi tidak menyumbang dana untuk kesuksesan PKB? Rasanya mustahil; (b). Gerilya yang dilakukan Muhaiman dan elit PKB ke kyai-kyai NU di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan lainnya dengan membawa isu “awas politik China di balik Jokowi”. Kami yakin, gerilya itu sangat efektif; (c). Posisi para Caleg non Muslim di tubuh PKB dan dukungan pendeta-pendeta kepada PKB. Dengan masuknya Rudi Kirana di jajaran elit PKB, sebenarnya partai itu seperti “mau diambil alih” non Muslim. Hanya saja, isu demikian tidak sampai ke telinga-telinga para kyai. Tahunya para kyai “bahaya Jokowi dan politik China”.
[6]. Prediksi kami tentang PAN juga keliru. Kami menyangka PAN akan gulung tikar, ternyata hasilnya lebih baik dari PKS. Dalam hemat kami, meskipun PAN tidak identik dengan Muhammadiyah, tetapi PAN sangat sulit melepaskan diri dari kantong pendukung utamanya, warga Muhammadiyah. Hal itu terbukti dengan posisi Amien Rais yang masih bercokol kuat di PAN. Andai PAN terlepas sepenuhnya dengan Muhammadiyah, diperkirakan sulit akan bertahan. Sungguh, sebelum Pileg digelar, Pak Amien Rais rajin berkunjung ke kantong-kantong komunitas Muhammadiyah di Jawa Barat. Dari mana kami tahu? Karena sebagian kerabat kami aktif dalam kegiatan-kegiatan Aisyiyah (ormas wanita Muhammadiyah). Asumsinya, beliau juga rajin berkunjung ke daerah-daerah lain.
[7]. Prediksi kami tentang Hanura juga keliru. Kami menyangka Hanura akan naik secara significant, ternyata tidak. Boleh jadi Hanura dilompati oleh Nasdem yang lebih muda darinya. Bagaimana perasaan Hary Tanoe ya? Partai Nasdem yang dia tinggalkan ternyata lebih unggul dari Hanura. “Gue udah pontang-panting, ternyata hasilnya cuma segini. Muka gue mau ditaruh di mana?” Mungkin begitu keluh Hary Tanoe. Keruntuhan pamor Hanura ini membalikkan sebuah teori besar media. Selama ini ada anggapan, bahwa ekspose media yang gencar dan terus-menerus bisa mendikte perilaku politik masyarakat. Ternyata, ekspose berlebihan justru membuat masyarakat nek (muak). Lagi pula, di era kebebasan informasi saat ini, masyarakat mendapat banyak pilihan informasi bukan hanya dari TV. Jangankan TV-TV sejenis MNC, TV berita seperti TVOne dan MetroTV saja sudah lama diragukan kredibilitasnya. Termasuk media seperti Tempo, Kompas, Detik.com, Rakyat Merdeka, dan seterusnya. Bisa dianggap, Pileg April 2014 menjadi “kuburan” bagi media-media sekuler. Belum pernah kami merasa malu membaca Kompas, kecuali setelah media ini mengelu-elukan sosok Jokowi secara berlebihan. Jokowi yang kemampuan jauh di bawah SBY dielu-elukan secara bombastik.
[8]. Nah, selanjutnya kita bicara PKS, khushuson seputar PKS. (Tolong bagi yang masih di bawah 17 tahun, jangan ikut nonton ya. Ada pembantaian besar di sini. He he he…). Ya kami gak segitunyalah ke PKS. Namanya juga sesama Muslim, meskipun banyak perbedaan, tidak boleh “bantai-membantai”. Merujuk hasil Quick Count, suara PKS menurun sekitar 1 %. Tapi secara psikologi politik penurunan ini sangat besar artinya bagi kader-kader PKS. Anda tentu masih ingat Pemilu 2009 lalu, PKS mengklaim sebagai satu-satunya partai, selain Demokrat, yang mengalami kenaikan suara. Masih ingat kan? Nah, sekarang terbalik. Ketika trend partai-partai Muslim pada naik, justru PKS turun. Bukan itu saja, rangking politik PKS dari semula posisi ke-4 merosot ke posisi 7 atau 8. Secara psikologis semua ini sangat berat diterima para kader pendukung. Tadinya mereka di barisan “partai elit”, sekarang masuk kelas “partai alit”. Itu pun PKS cukup dibantu oleh suara komunitas Salafi. Tanpa bantuan komunitas Salafi mungkin suara PKS lebih buruk lagi. Bisa jadi saat ini Johan Budi dan Abraham Samad di sana lagi terkekeh-kekeh melihat nasib malang para pendukung PKS. Pemberitaan korupsi yang digalakkan KPK terkait LHI dan Fathanah tampaknya menjadi tsunami besar bagi PKS. Tapi di luar itu, ada satu image yang berkembang luas di tengah masyarakat tentang PKS, yaitu kesan “PKS sama saja dengan partai lain”. Sebenarnya image inilah yang telah menggerogoti PKS dari waktu ke waktu. Jati diri mereka sebagai partai kader, partai dakwah, partai Islam dianggap meluntur. Meminjam istilah Hatta Rajasa: “Semua partai cenderung bergerak ke tengah.” Keberhasilan-keberhasilan PKS di pemilu-pemilu sebelum tidak menjadi bahan introspeksi, tapi malah menimbulkan rasa ujub. Itu gawat!
[9]. Oh ya tentang PPP, hampir lupa. Sama seperti PKB, PPP juga punya basis masa Muslim tradisional. Hanya bedanya PPP basis masa non-NU. Alhamdulillah meskipun PPP tidak melonjak drastik, setidaknya meningkat. Kami disini berposisi bukan sebagai “orang PPP” tapi sekedar sebagai “pemilih PPP”. Beda kan ya. Setelah hasil quick count diumumkan, sebagian elit PPP seperti gontok-gontokan, mau dongkel-dongkelan. Kenapa bisa begitu? Karena Emron Pangkapi sejak awal ingin bawa PPP merapat ke Jokowi (PDIP), sama seperti kelakuan Bahtiar Chamsah dulu. Sementara Suryadarma Ali yang telah bekerja keras lima tahunan terakhir, ingin membawa PPP berlabuh bersama Prabowo (Gerindra). Orang pada bertanya-tanya, kenapa elit politik bisa begitu? Ya untuk ukuran Indonesia, perselisihan internal sering muncul. PDIP saja sekarang galau, PKB galau, Golkar galau; termasuk Mahfud MD juga galau, karena dia mungkin terus bertanya-tanya: “Siapa yang mau bawa gue maju ke Pilpres?” Tapi mendukung Jokowi dalam konteks sekarang, sangatlah riskan bagi masa depan Umat Islam.
[10]. Bagaimana dengan Gerindra dan Prabowo? Ya kami tidak tahu banyak tentang internal Gerindra dan program-programnya. Tapi prediksi kami selaras, Gerindra meraih suara sangat baik di Pileg April 2014 ini. Itu buah dari konsistensi sebagai partai oposisi. Sebenarnya PDIP bisa lebih besar suaranya kalau konsisten menjaga citra baik mereka sebagai partai oposisi. Tapi mengangkat Jokowi sebagai Capres menjadi blunder besar bagi PDIP. Jelas-jelas Jokowi masih baru menjabat Gubernur DKI, tapi sudah buru-buru dicapreskan. Tapi menarik melihat sosok Prabowo sebagai Capres. Menurut kami, dia layak menjadi Presiden RI. Bukan karena dia nasionalis atau mantan elit militer; tapi kondisi negara kita saat ini benar-benar butuh “darah segar” untuk menyelamatkan negeri ini. Sekilas gambaran, APBN kita 60 % untuk belanja rutin (termasuk gaji PNS, guru, TNI, Polri, dan seterusnya); 25 % untuk membayar hutang dan bunganya; sisa 15 % untuk infrastuktur, persenjataan, dan lain-lain. Kata Hatta Rajasa, sisa APBN kita rata-rata hanya sekitar 8 % saja. Kalau angka pertumbuhan ekonomi nasional mencapai 6 % itu sebagian besarnya merupakan sumbangan dari produksi dan transaksi perusahaan/bisnis asing yang bercokol di negeri ini. Memang tumbuh, tapi hasilnya untuk orang asing, bukan buat rakyat kita sendiri. Dalam konteks begini kita butuh sosok pemimpin yang kuat, seperti Erdogan di Turki, Hugo Chavez di Venezuela, atau Putin di Rusia. Jangan Jokowi-lah, dia terlalu lembek dan tidak memiliki integritas. Itu sangat membahayakan bagi masa depan bangsa ini. Prabowo sebagai sosok militer termasuk unik, karena dia satu-satunya jendral militer yang pro ekonomi kerakyatan, ekonomi petani, nelayan, pedagang pasar, dan sebagainya. Mana ada jendral militer yang peduli ekonomi kerakyatan? Hal ini dipercaya merupakan pengaruh dari ekonom Prof. Soemitro, ayahnya. Kalau harus memilih antara Prabowo dan Jokowi, jelas kami mendukung Prabowo.
[11]. Umat Islam di negara kita sering dihadapkan pada pilihan-pilihan politik. Misalnya, mana yang harus kita pilih, pemimpin yang saleh tapi lemah, atau pemimpin yang kuat tapi kurang saleh? Kalau mengikuti gaya politik kaum Muslimin selama ini, mereka lebih suka pemimpin yang saleh meskipun lemah; ketimbang pemimpin kuat tapi kurang saleh. Alasannya, soal kesalehan itu sendiri. Tapi ulama-ulama Islami justru memilih pemimpin yang kuat meskipun kurang saleh; alasan mereka: “Kesalehan pemimpin itu buat dirinya sendiri, sedangkan kekuatan seorang pemimpin bermanfaat untuk orang banyak.” Dalam Surat Al Baqarah, ketika Bani Israil meminta dipilihkan seorang tokoh untuk menjadi pemimpin perang, Allah memilihkan mereka sosok Thalut. Ia disifati dengan keutamaan: “Basthatan fil ‘ilmi wal jism” (memiliki ketangguhan dalam ilmu dan kekuatan fisik). Bahkan ketika terjadi peperangan antar kaum Muslimin dan Romawi di medan Yarmuk, tiga komandan Islam yang amat sangat saleh gugur, yaitu Mush’ab bin Umair, Ja’far bin Abu Thalib, Abdullah bin Rawahah Radhiyallahu ‘Anhum. Kemudian Allah beri kemenangan kepada pasukan Islam lewat komandannya yang tidak terlalu saleh, tapi sangat brilian dalam perang, yaitu Khalid bin Walid Radhiyallahu ‘Anhu. Kalau secara perasaan, betapa senangnya kalau pemimpin RI nanti muncul dari kalangan ustadz, kyai, habib, doktor syariah, dan sebagainya. Tapi kalau mereka lemah, tidak mampu menghadapi derasnya inasi asing, ya tak banyak membawa maslahat bagi kehidupan kita semua.
Ala kulli hal, bentuk politik di Indonesia ini stagnan. Dari pemilu ke pemilu, tidak ada yang mencapai suara mayoritas (mencapai 30 % atau 40 % kemenangan). Faktor politik komunitas sangat dominan. PDIP dan Golkar punya pangsa pasar tetap sejak era Orde Baru. PKB, PAN, PPP, dan PKS juga punya pangsa pasar tetap; PKB ke NU, PAN ke Muhammadiyah, PPP ke tradisionalis non NU, PKS ke jamaah pengajiannya. Gerindra didukung pelaku bisnis kecil, pedagang pasar, petani, nelayan, dan semacamnya. Sedangkan Demokrat, Hanura, Nasdem, memiliki massa pendukung tidak jelas. Partai-partai yang bukan basis komunitas hanya tiga partai terakhir itu.
SEKILAS KRITIK
Kami sendiri sebagai bagian dari Umat (dan kemarin memilih PPP) merasa sedih melihat situasi ini. Banyak lembaga Islam, tokoh ormas Islam, cendekiawan Muslim, media Islam, atau para aktivis Islam menyerukan agar partai-partai basis Muslim (PKB, PAN, PPP, PKS, dan PBB) bersatu membentuk kaukus partai Islam dan memilih calon presiden sendiri. Tapi menurut kami, kecil peluang mereka akan mau bersatu dalam sebuah kaukus politik Islam. Bagi para politisi itu seperti berlaku prinsip: “Lebih baik menjadi keset di sebuah istana megah milik orang lain, daripada menjadi meja di rumah kecil milik sendiri.” Mereka minder dengan agama dan identitasnya. Sayang sekali.
Masalah terbesar kita saat ini adalah: “Hilangnya orientasi politik Islami di diri partai-partai Muslim, bahkan di semua partai yang ada.” Tujuan politik Islam itu kan memperbaiki kehidupan Umat Islam, agar kehidupan dunia akhiratnya menjadi baik; peluang masuk surganya besar, peluang masuk nerakanya semakin kecil. Itu kan sebenarnya tujuan politik Islam! Nah, mengapa tak ada satu pun partai yang peduli dengan kehidupan ukhrawi kaum Muslimin? Pembahasan kita tentang masalah ekonomi, pendidikan, kesehatan, informasi, dll. kan bukan semata bersifat duniawi; kita membahas semua itu agar kehidupan Umat ini jadi baik, kalau baik diharapkan nasibnya di akhirat nanti juga lebih baik. Andaikan urusan dunia tidak menjadi baik, minimal bekal-bekal untuk mencapai kemuliaan di akhirat mencukupi. Jangan sampai urusan dunia tak dapat, urusan akhirat juga tidak. Politik apa semacam itu? Mana itu hakikat partai Islam atau partai Muslim? Kok urusannya dunia melulu?
Selagi partai-partai Islam (Muslim) ini tidak peduli dengan kehidupan akhirat Umat, tidak ada yang bisa diharapkan dari mereka. Percuma dan sia-sia kita mendukung mereka, kalau orientasinya dunia melulu. Kelak kita semua akan ditanya: “Man Rabbuka? Man Nabiyyuka? Maa Kitabuka?” (siapa Rabb-mu, siapa Nabi-mu, apa Kitab-mu?). Kita bukan ditanya soal pertumbuhan ekonomi, indeks saham, potensi elektabilitas, hasil quick count, perolehan kursi parlemen, dan seterusnya. Semua itu hanya aksesoris doang, bukan tujuan hakiki perjuangan politik Islam.
Kembalilah partai-partai Islam (Muslim) pada jati diri perjuangan politik Islam! Kembalilah pada upaya menghidupkan ajaran Nabi SAW! Kembalilah kepada rel “fid dunya hasanah wa fil akhirati hasanah”! Kembalilah kepada amanat Allah dan Rasul-Nya! Jika kalian enggan kembali ke orientasi Islami, insya Allah tangan-tangan lain akan memikul amanat ini!
Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin, wallahu a’lam bisshawab, wassalamu’alaikum warahmatullah wabarakaatuh.
Jakarta, 14 April 2014.
AM. Waskito.
