Bismillahirrahmaanirrahiim.
Masih terngiang-ngiang di telinga kita omongan arogan (berbalut mesum) dari Bupati Garut, Aceng Fikri, bahwa menikah dengan wanita itu seperti membeli barang; kalau specs-nya tidak cocok, ya tidak diambil. Begitu juga, untuk memakai jasa layanan seks artis saja, tidak sampai semahal 250 juta. Dia juga mengklaim diri sebagai sosok ganteng dan kaya, pejabat pula.
Sampai disini, moralitas masyarakat kita benar-benar memilukan. Ada sosok pemimpin daerah dengan moral rusak seperti itu. Apalagi ia memimpin di Garut, yang terkenal sebagai kota santri (seperti Tasikmalaya). Omongan adalah menunjukkan apa yang tersembunyi dalam hati. Kalau omongan lurus, insya Allah hati dan hidupnya juga lurus. (Meskipun hal ini kadang dimanfaatkan oleh sebagian orang untuk berlomba “ngomong manis”, padahal kelakuan seperti buaya atau srigala).
Oke, secara umum kita sepakat bahwa kelakuan Bupati Aceng Fikri dengan omongan-omongan berbisanya, hal itu mencerminkan dekadensi moral yang parah. Dia tak malu-malu pamer ke-lucah-an diri di depan publik nasional (melalui TV nasional). Dalam hal ini kita sepakat.
Begitu juga, tentang sikap bermudah-mudah menceraikan; menceraikan via SMS; dan mengungkap rahasia privacy seorang wanita; hal itu juga sangat tidak terpuji, jauh dari akhlak Islami. Dalam hal demikian, wajar jika banyak masyarakat -terutama ibu-ibu dan kaum wanita- yang mendemo Aceng Fikri dan meminta mundur jabatan.
Tetapi…ada tetapinya…kalimat ini baru “koma”, belum “titik”…
Sangat miris ketika melihat ibu-ibu mendemo Aceng Fikri dengan membawa celana dalam wanita, mengacung-acungkan celana dalam, mengibarkannya, dan meletakkannya di pagar-pagar kantor Bupati. Itu sangat miris. Malah ada yang memakai celana dalam itu untuk topeng yang menutupi kepalanya. Miris, miris, miris sekali.
Apa wanita-wanita sekarang, khususnya ibu-ibu di Garut, sudah separah itu ya? Apa hubungannya celana dalam dengan demo anti Aceng Fikri? Kalau mereka bawa celana dalam, apakah Aceng Fikri akan cepat mundur jabatan? Atau apakah dengan cara itu mereka berhasil menghinakan Aceng Fikri? Toh, mereka tak mampu sedikit pun menyentuh tubuh Aceng.
Celana dalam adalah simbol privasi kaum wanita. Ia adalah aib, jika tampak terbuka atau sengaja ditampak-tampakkan; apalagi sampai dikibar-kibarkan. Mengapa ibu-ibu memakai cara begitu, padahal dengan demo melalui tulisan, spanduk, banner-banner, itu juga bisa?
Sangat sedih melihat ibu-ibu demo dengan membawa celana dalam ini. Celana dalam adalah “harta privasi” mereka; menandakan kehormatan, jika dijaga baik-baik, dan akan jadi memalukan jika sengaja ditampakkan. Cara begitu tak akan bisa menghinakan Aceng Fikri, selain menjadi aib bagi ibu-ibu itu sendiri.
Dulu Rendra pernah membuat puisi tentang wanita-wanita WTS di Jakarta; Rendra menginspirasi wanita-wanita itu agar berdemo dengan mengacung-acungkan “Bra” agar laki-laki munafik yang sok anti pelacur, tetapi sejatinya butuh juga; mereka bisa puyeng tujuh keliling. Begitulah kira-kira isinya.
Jadi, demo dengan mengacung-acungkan perangkat “daleman” itu adalah simbol wanita pelacur. Namun kini malah ibu-ibu secara terbuka menunjukkan sikap “melecehkan diri mereka” sendiri.
Ke depan, jangan dipakai “daleman” untuk demo-demo itu. Malu-lah, malu, sebab ia adalah perangkat privasi yang harus dijaga baik-baik. Ya, selagi kita masih komitmen dengan moral mulia.
Mine.
