Bismillahirrahmaanirrahiim.
Dalam sebuah tulisan tentang “Kasus Sampang Jilid II” muncul komentar seorang pembaca yang diindikasikan sebagai pengikut sekte Syiah Rafidhah. Dia memberikan pandangan “imajiner” tentang situasi di Saqifah Bani Sa’idah ketika para Shahabat Radhiyallahu ‘Anhum melakukan pembicaraan untuk memilih pemimpin pengganti Nabi Shallallah ‘Alaihi Wasallam. Dalam pandangan pembaca itu, andai saja para Shahabat tidak mendahulukan sikap nasionalisme, tentu mereka akan merujuk Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu untuk menjadi pengganti Nabi.
Berikut komentar pembaca tersebut:
Imaginer. Andai aku ada di Saqifah Bani Sa’idah, aku katakan: “Stop perdebatan suksesi, tidak pantas tubuh suci rosul Allah belum dikebumikan kita usung-mengusung calon Muhajirin dan Ansor. Adalah bintik2 ta’assub nasionalisme. Bukankah ketika anda dipersaudarakan oleh rosul antara Muhajirin dan Ansor ketika awal hijrah, nasionalisme telah dihapus oleh rosul, hanya Ali yang dipersaudarakan dengan Rosul sendiri (tanda pertama). Anda menyaksikan di Ghodir khum ketika Rosul mengangkat Ali sebagai Maula, menyakiti Ali sama dengan menyakiti Nabi, lihat hadits2nya Mutawatir (tanda kedua). Bubarlah kembali berkabung kepada tubuh baginda ROSUL yang masih terbaring.”
Analisaku, tidak mungkin Rosul Allah tidak memberikan tanda sebagai penerusnya, karena persoalan ummat adalah persoalan besar. Rosul tahu kalau persoalan kepatutan dimusyawarahkan tidak pernah selesai, akhirnya kepatutan akan diselesaikan oleh kekuatan mayoritas. Yang diusung oleh individu. Ali sbg Maula berdasar dipilih Nabi tidak harus tunduk pada musyawarah mendadak yg bersifat nasionalis mengusung tokoh Ansor dengan Muhajirin. Dalam sejarah Ali mengalah demi menghindari perpecahan membai’ah atas hasil musyawarah dadakan. Nasionalisme menang. Wasiat Nabi tersingkir. Seharusnya menurutku hasil musyawarah yang tunduk pada Maula. Sehingga anasir2 nasionalisme tidak ada tempat. Tolong beri komentar dengan fakta sejarah.”
Sebenarnya, komentar ini semula tidak ingin dikomentari. Inginnya dibiarkan saja, karena bagi kita sudah jelas, bahwa pemikiran-pemikirian seperti di atas, termasuk kategori madzhab sesat Syiah Rafidhah. Hidup mereka, sejak awal sampai akhir; sejak kecil sampai tua renta; sejak membuka mata sampai menutup mata lagi (tertidur); dalam kerumunan atau sendirian; di rumah atau di jalan; saat di masjid atau di WC; saat bekerja atau sedang hubungan seksual; maka fokus masalah yang selalu mereka pikirkan adalah Hak Kewalian Ali bin Abi Thalib dan Hak Imamah Anak-anaknya. Agama, Syariat, bumi, langit, dan kehidupan yang luas ini, di tangan Syiah Rafidhah mengerucut ke dua masalah politik di masa lalu itu.
Leonid Brezhnev, mantan Presiden Uni Soviet, pernah melakukan pembicaraan damai dengan Jimmy Carter. Sebelum pembicaraan dilakukan Brezhnev berkata, “Kalau kita gagal dalam mewujudkan perjanjian, Tuhan akan menghukum kita.” Perkataan itu spontan mengejutkan semua yang hadir dalam pertemuan itu. Ternyata, sosok Presiden Komunis Uni Soviet, masih menyimpan keimanan pada Tuhan. Begitu pula, Fir’aun masih menyembunyikan keimanan di hatinya, meskipun ucap keimanan itu dia katakan ketika nyawa sudah di tenggorokan (sehingga tak berguna lagi). Artinya, orang kafir sekafir-kafirnya saja, masih ada sisi-sisi keimanan baiknya. Lha ini orang Syiah Rafidhah, katanya Muslim, tapi otak kanan-kirinya, jiwa-raganya, hidup-matinya, isinya melulu hanya: Wilayah Ali dan Imamah Ahlul Bait.
Baiklah, berikut isi diskusi yang sudah dilakukan, dikutip secara utuh. Diskusi aslinya bisa dilihat pada tulisan: “Kasus Sampang Jilid II”. Semoga bermanfaat, amin ya Rahiim.
__________________________________________________________
@ Fulan…
==> Imaginer. Andai aku ada di Saqifah Bani Sa’idah, aku katakan: “Stop perdebatan suksesi, tidak pantas tubuh suci rosul Allah belum dikebumikan kita usung-mengusung calon Muhajirin dan Ansor. Adalah bintik2 ta’assub nasionalisme.
RESPON: Anda tidak boleh menyebut para Shahabat Anshar dan Muhajirin dengan istilah ta’ashub atau nasionalisme. Itu tuduhan kasar, kalau tidak disebut fitnah atas mereka. Para Shahabat Radhiyallahu ‘Anhum SANGAT TERGONCANG atas wafatnya Nabi Shallallah ‘Alaihi Wasallam, hal itu sangat terlihat dalam kebingungan Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘Anhu yang mengancam akan menebas siapa saja yang mengatakan bahwa Nabi telah wafat. Ini menunjukkan keadaan tekanan psikologis yang sangat berat.
Satu sisi para Shahabat kehilangan sosok manusia teladan, orangtua, guru, kawan seperjuangan, sumber ilmu, penghibur hati, pembela hidup dan jiwa mereka. Di sisi lain, mereka cemas memikirkan masa depan PERADABAN ISLAM yang baru dibangun. Usianya baru 10 tahun; sementara musuh-musuhnya sangat banyak, baik dari kalangan Yahudi, Nasrani, musyrikin Persia, Romawi, Mesir, kabilah-kabilah Arab yang kafir, dll. Mereka cemas, siapa yang akan mengganti posisi beliau? Saat itu mereka berdebat, bahwa Anshar lebih tepat mengganti, yang lain berpendapat Muhajirin lebih tepat mengganti. Nabi sendiri tidak menunjuk siapa pengganti beliau, maka wajar dong terjadi perselisihan menentukan pemimpin.
Istilah Anshar dan Muhajirin bukan istilah ta’ashub atau nasionalisme. Itu istilah SYARIAT MURNI, wong dalilnya banyak dalam Al Qur’an dan terutama Sunnah. Anshar adalah pembela para Muhajirin; Muhajirin adalah orang yang hijrah ke negeri orang Anshar. Ini istilah Syariat yang menunjukkan amal dan prestasi amal mereka dalam perjuangan Islam. Itu bukan istilah fanatik atau nasionalisme.
Kalau Shahabat Anshar dan Muhajirin lebih mendahulukan urusan kepemimpinan, bukan urusan mengurus jenazah Nabi; karena mereka melihat bahwa: (1). Urusan kepemimpinan itu tidak bisa ditunda-tunda, harus cepat dipastikan dan dituntaskan; semakin lama ditunda akan melahirkan KETIDAK-PASTIAN yang sangat berbahaya; (2). Suasana di Saqifah Bani Sa’idah sudah mengarah ke terjadinya konflik dan perselisihan internal kaum Muslimin, hal itu kalau dibiarkan begitu saja, akan membesar menjadi konflik serius di kalangan ummat Islam. Memadamkan api konflik sangat diutamakan sebelum mengurus jenazah Nabi;
(3). Harus dicatat dengan tinta tebal, bahwa para Shahabat SUDAH TAHU kalau Nabi Saw wafat. Abu Bakar, Umar, dan para Shahabat Anshar Muhajirin Radhiyallahu ‘Anhum, mereka semua sudah tahu kalau Nabi wafat; maka itu mereka berselisih soal siapa yang akan menggantikan posisi Nabi dalam memimpin kaum Muslimin. Bahkan Abu Bakar dan Umar telah memeriksa jenazah beliau di kamar Aisyah Radhiyallahu ‘Anha terlebih dulu, sebelum berangkat ke Saqifah. Artinya, adalah DUSTA BELAKA kalau para Shahabat dianggap tidak tahu atau acuh dengan kematian Nabi Saw. Justru mereka amat sangat peduli dan mengalami kegoncangan jiwa. Adapun soal merawat jenazah Nabi, dalam Syariat Islam, hal itu harus diurus oleh keluarga beliau sendiri, untuk memandikan dan mengafani; lalu nantinya para Shahabat menyalati beliau, setelah urusan kepemimpinan beres diselesaikan. Apa mungkin untuk mengurus jenazah Nabi harus melibatkan semua para Shahabat baik laki-laki dan wanita? Mungkin kalau dalam hukum Syiah Rafidhah kayak begitu ya…
Para Shahabat Radhiyallahu ‘Anhum sangat mencintai Nabi Saw. Hal itu dibuktikan, mereka sampai berselisih dalam rangka memilih pemimpin untuk: MELANJUTKAN, MELESTARIKAN, dan MEMPERTAHANKAN PERADABAN yang telah dibangun oleh Nabi Shallallah ‘Alaihi Wasallam. Melanjutkan peradaban yang Nabi tinggalkan sangat diprioritaskan, sebelum para Shahabat bersama-sama menunaikan hak-hak jenazah Sayyidul Musthafa Shallallah ‘Alaihi Wasallam. Jadi para Shahabat lebih lebih mencintai Nabi ketimbang orang-orang Syiah Rafidhah yang telah dibutakan mata-hatinya, lalu Allah ombang-ambingkan mereka dalam kesesatan luar biasa.
==> Bukankah ketika anda dipersaudarakan oleh rosul antara Muhajirin dan Ansor ketika awal hijrah, nasionalisme telah dihapus oleh rosul, hanya Ali yang dipersaudarakan dengan Rosul sendiri (tanda pertama). Anda menyaksikan di Ghodir khum ketika Rosul mengangkat Ali sebagai Maula, menyakiti Ali sama dengan menyakiti Nabi, lihat hadits2nya Mutawatir (tanda kedua). Bubarlah kembali berkabung kepada tubuh baginda ROSUL yang masih terbaring.
RESPON: Aneh bin ajaib, Anda itu mencela sikap ta’ashub, mencela sikap nasionalisme. Tapi Anda pada saat yang sama membuat “Nasionalisme” baru dengan cara mengagung-agungkan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu. Kalau cara begitu benar, tentu Syariat Islam akan mengajarkan sikap mengagung-agungkan Ali. Buktinya tidak demikian. Ali bukanlah Nabi, bukanlah masdar syar’i (sumber Syariat). Beliau seorang Shahabat yang utama, benar adanya; tapi beliau bukan Nabi atau Rasul yang kita harus menjadikannya sebagai pemutus urusan Islam dan ummat. Kecuali, saat beliau menjadi Khalifah Rasyidah; maka kebijakan beliau secara legal mewakili Syariat Islam.
Dalam Ghadir Khum itu, Nabi Saw BUKAN MENGANGKAT Ali bin Abi Thalib sebagai wali; tetapi menegaskan kembali bahwa Ali itu seorang wali, seorang mukmin, di antara para shahabat Nabi yang lain. Ketika itu dalam sebuah ekspedisi Ali bin Abi Thalib melakukan perbuatan yang di mata sebagian sahabat lainnya dianggap tercela; lalu Nabi membela Ali dengan mengatakan, bahwa siapa yang menjadikan Nabi sebagai wali-nya, maka mereka akan menjadikan Ali sebagai walinya. Wali disini artinya ya seperti wali yang kita pahami dalam Syariat Islam, yaitu: pelindung, pembela, penolong, wakil, yang dicintai, mitra, sekutu, dan sebagainya. Boleh diartikan pemimpin, tetapi maknanya umum, bukan hak kepemimpinan khusus seperti yang dipahami oleh Syiah Rafidhah yang sesat itu.
Hadits Ghadir Khum itu benar adanya, tapi pemaknaannya tidak membabi-buta seperti kaum Rafidhah. Maknanya itu sama seperti dalam Surat At Taubah: “Innamal mu’minuna wal mu’minati ba’dhuhum auliya’u ba’dhin” (orang-orang mukmin laki-laki dan wanita, sebagian mereka menjadi wali bagi sebagian yang lain). Hal ini seperti makna wali dalam muamalah, wali dalam pernikahan, wali terhadap anak, wali terhadap titipan harta anak yatim, dan sebagainya.
==>Analisaku, tidak mungkin Rosul Allah tidak memberikan tanda sebagai penerusnya, karena persoalan ummat adalah persoalan besar. Rosul tahu kalau persoalan kepatutan dimusyawarahkan tidak pernah selesai, akhirnya kepatutan akan diselesaikan oleh kekuatan mayoritas. Yang diusung oleh individu. Ali sbg Maula berdasar dipilih Nabi tidak harus tunduk pada musyawarah mendadak yg bersifat nasionalis mengusung tokoh Ansor dengan Muhajirin.
RESPON: Anda ini tidak terlalu banyak tahu tentang Islam, tetapi sudah berkomentar macam-macam. Nabi Saw tidak menunjuk seseorang secara pasti untuk mengganti beliau. Itu fakta sejarah. Itu sudah diketahui oleh kaum Muslimin di masa itu secaran mutawatir. Anda tahu apa arti hadits mutawatir? Anda paham tidak apa maknanya? Hadits mutawatir itu diriwayatkan oleh jamaah para Shahabat secara kolektif, sehingga resiko terjadi kebohongan sangat kecil. Mereka tak mungkin akan bersepakat untuk sama-sama berbohong, karena mereka orang-orang yang baik; dan kalau ada yang mengajak berbohong secara kolektif, pasti akan diingkari oleh mereka yang tahu fakta sesungguhnya. Inilah hadits mutawatir.
Begitu pula, Nabi Saw tidak memilih pemimpin pengganti beliau secara jelas, itu juga mutawatir. Apa buktinya? Buktinya ya peristiwa di Saqifah Bani Sa’idah itu. Kalau Nabi sudah menunjuk penggantinya, pasti para Shahabat akan segera rujuk kepada pemimpin tersebut, tanpa harus terjadi perselisihan lagi. Coba bandingkan kenyataan ini dengan kata-kata Anda: …Analisaku, tidak mungkin… Kok gayanya sok tahu banget gitu lho… Apa di kalangan Syiah diajarkan cara-cara sok tahu seperti itu ya…
Anda tidak boleh mengejek, mencela, atau menjelekkan MUSYAWARAH; apalagi sampai berdusta bahwa Nabi tahu bahwa musyawarah tidak menyelesaikan masalah. Masya Allah… Anda itu siapa sih, kok sampai segitunya berani berdusta atas nama Nabi Saw.
Muasyawarah itu bagian dari Syariat Islam, sehingga dalam Al Qur’an ada Surat yang dinamakan As Syura (permusyawaratan). Dalam Al Qur’an jelas-jelas disebutkan: “Wa syawirhum fil amri” (dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu). Juga ayat yang berbunyi: “Wa amruhum syura bainahum” (dan urusan mereka diselesaikan dengan musyawarah di antara mereka). Nabi juga bersabda, bahwa tidak akan merugi siapa yang menyelesaikan urusannya dengan musyawarah dan shalat istikharah. Ini adalah ajaran Islam, ini amanat Allah dan Rasul-Nya. Kok kini tiba-tiba ada orang yang merasa pintar dengan mencela prinsip MUSYAWARAH. Masya Allah.
Para ulama pun kemudian menetapkan prinsip musyawarah dalam sistem tata-negara Islam dalam bentuk Ahlul Halli Wal Aqdi. Ia adalah sebuah dewan yang berisi ulama, para ahli, para politisi yang matang, dan siapa saja yang layak; tugasnya untuk memberi pertimbangan2 kepada sultan/pemimpin, untuk merumuskan kebijakan yang paling baik.
Maaf ya, di kalangan Syiah Rafidhah, prinsip musyawarah juga ditempuh. Disana ada yang dinamakan Dewan Ulama Syiah, konsep Wilayatul Faqih, bahkan di IJABI itu ada unsur yang namanya Dewan Syura IJABI. Mengapa disana orang Syiah butuh pada musyawarah? Ya karena cara-cara musyawarah itu baik dan bermanfaat untuk merumuskan kebijakan-kebijakan.
Tapi ujug-ujug disini muncul seorang “ulama” Syiah yang meremehkan musyawarah para Shahabat Nabi Radhiyallahu ‘Anhum, hanya demi memenuhi ambisinya agar dia bisa: puas sepuas-puasnya menyembah Ali bin Abi Thalib, serta menjadikan Ali sebagai sesembahan selain Allah. Demi menyembah Ali, dia membabi-buta melabrak aturan-aturan Syariat. Na’udzubillah wa na’udzubillah min dzalik.
==>Dalam sejarah Ali mengalah demi menghindari perpecahan membai’ah atas hasil musyawarah dadakan. Nasionalisme menang. Wasiat Nabi tersingkir. Seharusnya menurutku hasil musyawarah yang tunduk pada Maula. Sehingga anasir2 nasionalisme tidak ada tempat. Tolong beri komentar dengan fakta sejarah.
RESPON: Sering kali orang Syiah kalau dibiarkan bicara terus, semakin kelihatan belang-belangnya. Sengaja komentar tertentu tidak diberi respon karena dianggap tidak penting. Tetapi masih juga ngeyel dan beranggapan bahwa dirinya lebih tahu dan lebih kuat argumentasinya. Ya akhirnya terbongkarlah pemikiran-pemikiran kacau seperti ini.
Menurut saya, kejahatan besar kaum Syiah Rafidhah dalam agamanya ialah karena mereka itu telah MENODAI, MENCACATI, serta MERUNTUHKAN kehormatan Ali bin Abi Thalib dan keluarganya Radhiyallahu ‘Anhum. Tidak ada serangan yang paling menyedihkan kepada Ali dan keluarganya, selain serangan dari kaum Rafidhah sesat dan menyeleweng itu. Di antara bukti-buktinya sebagai berikut:
[1]. Kaum Rafidhah panas, dengki, marah, kecewa, karena Ali bin Abi Thalib tidak segera menggantikan posisi Nabi Shallallah ‘Alaihi Wasallam sebagai pemimpin. Seolah mereka menuduh Ali sebagai manusia haus kekuasaan politik; seolah kehidupan Ali yang dia idam-idamkan hanya soal kekuasaan politik belaka. Masya Allah, apakah Ali seorang politisi busuk yang haus kekuasaan? Orang-orang Rafidhah tahu jawabannya.
[2]. Kaum Rafidhah selalu mencaci, menyerang, antipati kepada Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman, dan para Shahabat lainnya. Padahal Ali bin Abi Thalib tidak pernah berbuat seperti itu kepada mereka. Bahkan di antara anak-anak Ali ada yang dinamakan Umar. Ali bin Abi Thalib menikahkan putrinya Ummu Kultsum dengan Khalifah Umar. Ali bin Abi Thalib mengutus Hasan dan Husain, untuk menjaga di kediaman Khalifah Ustman saat terjadi pemberontakan. Saat terjadi perang Jamal, Khalifah Ali sangat menghormati Ummul Mukminin, Aisyah binti Abu Bakar Radhiyallahu ‘Anhuma. Beliau diantarkan pulang dengan segala kehormatan, tanpa direndahkan sedikit pun. Kalau demikian sikap Ali bin Abi Thalib, apakah bisa dikatakan bahwa beliau memendam rasa benci, marah, kecewa kepada para Shahabat, terutama Abu Bakar, Umar, dan Ustman? Jika Ali memendam benci di hatinya, berarti beliau seorang munafik dong? Demi Allah, tidak ada yang menuduh Ali munafik, selain kaum Rafidhah sesat itu. Na’udzubillah wa na’udzbu billah min dzalik.
[3]. Ali bin Abi Thalib menjabat sebagai Khalifah, menggantikan Khalifah Utsman, setelah kekuasaan Khalifah Rasyidah berlalu sekitar 22 tahun (Khalifah Abu Bakar 2 tahunan, Khalifah Umar 8 tahunan, Khalifah Utsman 12 tahunan). Khalifah Ali sendiri sampai wafatnya telah memimpin sekitar 6 tahunan. Andaikan Khalifah Ali membenci khalifah sebelumnya; atau andaikan istilah Maula yang dimaksud dalam hadits Ghadir Khum maksudnya adalah seperti yang diinginkan orang-orang Syiah; mengapa beliau diam saja selama 22 tahun, tidak melakukan perlawanan apapun, tidak berdakwah menjelaskan kepada ummat, tidak menggalang kekuatan untuk mewujudkan wasiat itu? Mengapa Ali harus diam saja selama 22 tahun? Nah, kaum Syiah Rafidhah beralasan: “Ali sengaja taqiyah, menyembunyikan keyakinan di hati, karena takut mendapat tekanan dari mayoritas Shahabat Nabi.”
Omongan orang-orang Rafidhah itu jelas sangat menodai kehormatan Ali bin Abi Thalib. Beliau dikenal sebagai seorang kesatria dari Bani Hasyim, kabilah paling mulia di Makkah. Bagaimana mungkin beliau punya sifat pengecut, penakut, dan merasa ngeri untuk menampakkan kebenaran? Ini sangat tidak mungkin. Bukan tipikal Ali sifat taqiyah, penakut, dan pengecut itu. Lagi-lagi, tidak ada manusia di dunia yang begitu menodai kehormatan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu, selain kaum Syiah Rafidhah.
[4]. Selama hidupnya di zaman para Khalifah Rasyidah Abu Bakar, Umar, Utsman Radhiyallahu ‘Anhum; Ali bersikap baik, taat kepada mereka, mencintai mereka, membela mereka, menolong mereka, mengutamakan mereka atas diri sendiri dan keluarganya. Saat terjadi perselisihan soal tanah wadak antara Khalifah Abu Bakar dan Fathimah binti Rasulillah Radhiyallahu ‘Anha; Ali bin Abi Thalib memilih diam, tidak berpendapat. Beliau mencintai Fathimah sebagai istrinya; tetapi juga menghormati Khalifah sebagai pemimpinnya. Tidak dikenal saat perselisihan itu Ali mengucapkan kata-kata yang mencela Khalifah. Dia buktikan dirinya sangat kuat dalam menahan emosi, sangat bijak dalam bersikap, dan sangat mendalam penghormatannya kepada pemimpin. Namun lagi-lagi, orang Syiah merusuhi, mengotori, dan merusak kehormatan Ali bin Abi Thalib dengan segala prasangka buruk mereka. Ali digambarkan haus kekuasaan, haus diagung-agungkan, munafik, dan seterusnya.
[5]. Andaikan Ali diangap melakukan taqiyah dengan menyembunyikan keyakinan di hatinya yang membenci Abu Bakar, Umar, Utsman, dan lain-lain. Maka lihatlah bagaimana kepemimpinan politik setelah beliau berkuasa sebagai Khalifah ke-4? Apakah Khalifah Ali lalu mencela Abu Bakar, Umar, Utsman? Apakah Khalifah Ali mencaci-maki para isteri Nabi, khususnya Aisyah dan Hafshah Radhiyallahu ‘Anhuma? Apakah Khalifah Ali lalu meng-qishas Abu Bakar, Umar, Utsman, dan seterusnya seperti ilusi-ilusi palsu Syiah Rafidhah? Jelas-jelas saat itu Ali sedang berkuasa, sehingga andai 22 tahun beliau taqiyah, maka ketika itu beliau dapat kesempatan untuk mewujudkan ambisinya?
Tetapi Khalifah Ali sangat bijaksana. Beliau sangat luhur hatinya, sangat dermawan, sangat pemaaf, sangat peka hati, sangat zuhud dunia. Beliau perlakukan Shahabat Thalhah dan Zubair dengan lembut dan dialogis; beliau perlakukan Sayyidah Aisyah dengan penuh kehormatan; beliau ajak kaum Khawarij dialog sebelum memerangi mereka; beliau berkali-kali harus menuruti manuver-manuver politik Muawiyah, demi untuk menunjukkan bahwa dirinya sangat cinta damai, cinta persaudaraan, dan tidak berambisi kekuasaan. Semua itu adalah wajah politik Ali bin Abi Thalib yang sebenarnya.
Jadi kesimpulannya, agama kaum Syiah Rafidhah, tiada lain adalah kumpulan ilusi-ilusi palsu yang penuh racun dan menipu; dimana mereka mengklaim memuliakan Ali, Fathimah, Hasan, Husein, dan anak keturunan mereka; padahal sejatinya mereka adalah manusia yang paling keji, paling kotor, paling khianat, paling jahat dalam menyerang dan menodai kehormatan Ahlul Bait Nabi Radhiyallahu ‘Anhum. Menjadi kewajiban para Ahlus Sunnah yang mampu dan memiliki kekuatan, untuk membuktikan bahwa Syiah Rafidhah adalah sekumpulan manusia aneh yang paling menodai kehormatan Ali bin Abi Thalib dan keluarganya Radhiyallahu ‘Anhum.
Demikian, semoga diskusi kecil ini bermanfaat dan menambah pengetahuan; atas izin dan rahmat Allah Ta’ala. Amin Allahumma amin. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamiin.
Admin.
