Bismillahirrahmaanirrahiim.
* Mendiang ulama asal Suriah pernah cerita tentang pengalamannya dialog dengan seorang ulama hadits yang kerap dituduh “anti madzhab”.
* Menurut cerita, sang ulama Suriah menang, sedang ulama “anti madzhab” tak berkutik. Dari mana kita tahu? Ya dari penuturan ulama Suriah itu dalam bukunya.
* KUNCI debat ini adalah sebuah pertanyaan: “Kalau kita mengikuti Al Qur’an dan As Sunnah, apakah itu artinya orang awam harus memutuskan hukum langsung dari Al Qur’an dan As Sunnah?”
* Hanya saja, atas takdir Allah, pertanyaan ini belum terjawab dalam debat madzhab itu. Tugas kita di sini menjelaskan yang samar jadi terang, bi idznillah.
* Kata para pendukung “wajib madzhab” hanya para Mujtahid yang berhak mengambil hukum; selain mereka, apakah awam atau penuntut ilmu tak berhak.
* JAWABAN 1: Masalah agama itu beragam, dari yang sederhana sampai yang rumit. Nah, setiap Muslim berperan dalam agama sesuai kapasitasnya. Misal, untuk MENGAJAR IQRA’ Anda tak perlu nunggu jadi Mujtahid dulu.
* JAWABAN 2: Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah menyebutkan kaidah tafsir. Kata beliau, ada ayat-ayat yang tidak diketahui maknanya selain oleh Allah saja; ada ayat yang hanya diketahui maknanya oleh ulama; ada ayat yang hanya diketahui oleh orang Arab asli yang paham aspek bahasanya; ada ayat yang MANUSIA TIDAK DIMAAFKAN kalau sampai dia tidak paham. Kaidah ini berlaku dalam tafsir, dan bisa jadi dalam ilmu-ilmu Islam lainnya.
* JAWABAN 3: Contoh ilmu yang mudah dipahami, dalam ayat: “Aqimus shalata wa atuz zakata.” Atau dalam ayat: “Ya aiyuhal ladzina amanu kutiba ‘alaikumus shiyam.” Atau dalam ayat: “Innad dina ‘indallahil Islam.” Atau dalam ayat: “Lakum dinukum wa liya din.” Tidak perlu jadi Mujtahid untuk paham ayat-ayat ini.
* JAWABAN 4: Untuk menjelaskan Rukun Islam ada 5, Rukun Iman ada 6, bacaan salam, bacaan adzan, bacaan iqamat, tata cara wudhu, rukun-rukun shalat, pembatal shaum, rukun nikah, tata cara merawat jenazah, dll. tak perlu jadi Mujtahid dulu. Juga untuk jelaskan teori-teori dasar Nahwu Shorof, juga tak perlu menunggu fasih seperti Ibnu Aqil, Ibnu Mandzur, Syibawaih, dll.
* JAWABAN 5: Allah menurunkan ayat-ayat dan Sunnah adalah agar menjadi “HUDAN LIN NAAS” (petunjuk bagi semua manusia); bukan “hudan lil mujtahidin”. Kita mengambil agama ini sesuai kapasitas masing-masing. Sekali lagi, agama ini untuk rahmat alam semesta, bukan “monopoli segelintir orang”.
* JAWABAN 6: Anda ingat kisah ketika Khalifah Umar dan putranya -radhiyallahu ‘anhuma- menguji seorang penggembala, agar dia menjual dombanya atau berbohong kepada pemilik domda. Si gembala itu menolak sambil berkata “fa ainallah” (kalau begitu, dimana dong Allah?). Mengapa Khalifah tidak bertanya begini: “Mana ijazahmu sebagai Mujtahidin? Mana sanad ilmumu?” Ya karena memang agama ini universal, menjadi rahmat bagi sekalian alam. Manusia mengambil agama ini sesuai kapasitas masing-masing.
* JAWABAN 7: Ketika di tengah Ummat tersebar ilmu seputar Kitabullah dan Sunnah, lalu marak amal-amal shalih. Ternyata ada yang keberatan, karena tersebarnya ilmu itu tidak berlabel madzhab-madzhab. Seolah kondisi “kembali kepada Kitabullah dan Sunnah” dianggap bencana. Padahal aslinya, sebelum muncul madzhab-madzhab, Syariat Islam awalnya TIDAK BERMADZHAB. Islam “tidak bermadzhab” lebih tua usianya, karena itulah CORAK KEISLAMAN ERA NABI SAW DAN PARA SHAHABAT RA. Coba jawab: madzhab apa yang dianut Nabi dan para Shahabat?
* JAWABAN 8: Partisipasi Umat ini dalam beragama, misalnya menuntut ilmu, membaca buku, membaca media, mendengar ceramah, diskusi, bertanya ke ulama, mengamalkan fatwa, belajar agama formal, jadi santri, berdakwah, mengajar ilmu, dll. Semua ini adalah bagian dari MENGIKUTI IMAM MADZHAB. Mengapa dikatakan begitu? Karena perbuatan-perbuatan itu dulu DICONTOHKAN OLEH IMAM MADZHAB. Aneh jika hal-hal demikian dianggap menentang madzhab.
* JAWABAN 9: Sungguh Ummat ini masih punya etika. Tidak mungkin mereka NEKAD BERKATA untuk hal-hal rumit yang bukan kapasitasnya. Sebagai contoh, kami berkali-kali ditanya tentang BPJS, dan kami tidak tahu duduk masalah itu. Maka kami pun tidak memberi jawaban tegas. Lha kalau memang tidak tahu, mau bagaimana lagi? Tidak mungkin kita akan MENEROBOS lorong-lorong yang kita tak mengetahuinya. Seperti dalam ayat: “Wa laa taqfu maa laisa laka bihi ‘ilmun” (jangan ikuti apa-apa yang engkau tak tahu ilmunya).
* JAWABAN 10: Sangat terkenal kisah Imam Syafi’i, setelah pindah ke Mesir, beliau banyak mengubah pendapatnya. Padahal itu hanya pindah dari Irak ke Mesir. Bagaimana jika agama ini telah melintasi semua benua dan samudra, melalui masa ribuan tahun? Apa kira-kira tidak memungkinkan pendapat-pendapat ini akan berubah? Kita sebut 10 contoh yang tidak ada di zaman imam madzhab: negara Muslim nasionalis sekuler, pemilu demokrasi, bank, transportasi udara, mata uang kertas, komunikasi telepon, pendidikan formal SD-sarjana, internet, media massa, transaksi mesin, dll. Hal-hal yang baru ini sangat mungkin akan mengubah pendapat imam-imam madzhab itu; seperti halnya pendapat Imam Syafi’i berubah hanya karena beliau berpindah domisili dari Irak ke Mesir.
* JAWABAN 11: Seandainya yang boleh berpendapat tentang agama adalah para Imam Mujtahidin saja; lalu siapa yang pantas menjadi Imam Mujtahidin di era kita sekarang ini? Adakah seorang ulama sekelas imam-imam besar masa lalu yang pendapatnya diakui semua kelompok? Jika tidak ada, apakah berarti riwayat agama ini sudah berakhir? Subhanallah wa subhanallah…
* JAWABAN 12: Dulu ada imam-imam Mujtahidin, dan sekarang peran mereka sudah digantikan oleh dewan-dewan ulama di setiap negara Muslim. Maka sejauh kita patuh dengan sebagian besar fatwa-fatwa ulama tersebut (kalau di Indonesia disebut MUI, kalau di Mesir Darul Ifta’, kalau di Saudi Hai’ah Kibaril Ulama); maka kita telah mengikuti imam-imam madzhab Mujtahidin.
* JAWABAN 13: Para imam madzhab telah menjelaskan dengan sangat gamblang, bahwa DASAR HUKUM SYARIAT adalah: Al Qur’an, As Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan ada yang menambahkan Qiyas Shahih (analogi). Jadi kalau kita beragama dengan berdasar dalil-dalil ini, kita sudah benar dan sudah selaras dengan teladan para imam madzhab tersebut. Seperti prinsip yang diajarkan oleh seorang ulama: “Kita beragama mengikuti dalil-dalil.” Kalau sudah berjuang mengikuti dalil, nah itulah yang diharapkan.
* JAWABAN 14: Para ulama madzhab sendiri menjelaskan prinsip-prinsip yang hebat, agar kita konsisten mengikuti Al Qur’an dan As Sunnah. Imam Abu Hanifah berfatwa dengan dasar Al Qur’an dan As Sunnah; kalau tidak menemukan jalan keluar, beliau menerapkan Qiyas (analogi); dengan ini beliau dikenal sebagai “ahlur ra’yi”. Imam Malik sangat terkenal dengan ucapannya: “Semua perkataan boleh diambil atau ditolak, kecuali perkataan penghuni kubur ini (sambil menunjuk pusara Rasulullah SAW).” Imam Syafi’i terkenal dengan kata-katanya: “Kalau sudah sah sebuah hadits, maka itulah madzhabku.” Dan Imam Ahmad terkenal dengan sikapnya, menghukumi suatu perkara dengan hadits Nabi SAW, daripada dengan logika, meskipun itu adalah hadits dhaif. Para imam ini mengarahkan kita konsisten dengan Al Qur’an dan As Sunnah, karena keduanya bersifat pasti, tidak diragukan, dan akan mengangkat khilaf di antara Ummat (insya Allah).
* JAWABAN 15: Menjawab pertanyaan pokok di atas: “Apakah orang awam atau penuntut ilmu boleh mengambil hukum sendiri langsung dari Al Qur’an dan As Sunnah?” Jawabnya ternyata sangat mengejutkan, yaitu: TIDAK PERLU!!! Mengapa dikatakan tidak perlu? Karena ilmu agama telah tersebar, pengetahuan Islam sudah ada dimana-mana, ribuan para ulama sudah berjihad dan berijtihad memudahkan kita dalam belajar agama. Produk-produk ilmu agama sudah sangat mudah diperoleh, dipahami, disebarkan. Ini adalah RAHMAT ALLAH yang besar bagi Ummat ini. Anda bisa memahami kerumitan hukum-hukum agama semudah membaca buku-buku cerita. Kita tak perlu lagi susah payah menggali hukum sendiri, tapi sudah banyak ulama, guru, ustadz, kyai, dai, penulis, murabbi, dan sebagainya yang mengajarkan ilmu-ilmu itu. BAHKAN sangat tidak mungkin kita akan mengambil hukum-hukum agama langsung dari Kitabullah dan As Sunnah; karena kita bukan ORANG PERTAMA yang menerima ayat-ayat Al Qur’an dan As Sunnah. Kita adalah generasi sekian ratus setelah generasi Nabi Saw dan para Shahabat Ra. Tidak ada manusia di zaman sekarang yang bisa mengambil hukum langsung ke Al Qur’an dan As Sunnah. Kalau ada yang mengklaim itu, dia pasti seorang PENDUSTA atau “dajjal”.
* Sebagai contoh mudah. Misalnya di sebuah Madrasah Ibtidaiyah atau TPA diajarkan bahwa rukun shalat itu begini dan begitu, rukun wudhu begini dan begitu, rukun puasa begini dan begitu. Ketika ada anak TPA bisa menyebutkan rukun shalat dengan benar, jangan Anda berkata kepadanya: “Wah kamu hebat ya, kamu sekelas Mujtahidin, seperti Imam Syafi’i.” Jangan dikatakan begitu. Karena dia cuma seorang pelajar yang menerima ajaran agama dari guru-gurunya; gurunya dari gurunya lagi; dan seterusnya sampai nanti muara ilmu itu kembali ke zaman Salafus Shalih. Kembalinya ilmu ini ada yang rapi dalam bentuk sanad, ada juga yang tidak rapi (random).
* Mari tugas kita kini di zaman seperti ini adalah MENSYUKURI KARUNIA ALLAH dalam bentuk tersebarnya ilmu yang mudah, meluas, dan dapat dipraktikkan dengan segera. Kehidupan ilmu yang sudah maju dan berkembang ini, jangan mau DIKEMBALIKAN KE ZAMAN SULIT di masa lalu. Terimalah kemudahan dari Allah Ar Rahiim dengan penuh syukur kepada-Nya. Alhamdulillahi Rabbil ‘alamiin.
* Wallahu a’lam bisshawaab.
(WeAre).
