Oleh TOHIR BAWAZIR.
Berikut adalah tulisan opini tentang siasat politik demokrasi dari seorang pemerhati gerakan dakwah dan politik Islam. Masuk ranah polemik pro-kontra. Penulis coba uraikan sisi-sisi kebaikan demokrasi dalam kehidupan riil di tengah Ummat. Selamat membaca dan berwawasan!
Pemilu Legislatif untuk memilih anggota DPR, DPRD I, DPRD II dan DPD, baru saja usai dilaksanakan. Insya Allah di bulan Juli 2014 kita akan melaksanakan pemilu lagi, yaitu pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden. pemilu itu pun masih memungkinkan berjalan dua putaran, apabila di putaran pertama tidak diperoleh pemenang mutlak yang mendapat suara 50% plus 1 suara. Kalau ditambah lagi dengan berbagai pilkada di berbagai daerah untuk memilih Gubernur maupun Bupati/Walikota, sesungguhnya negara Indonesia termasuk negara yang kelewat sibuk untuk melakukan pemilu.
Tidak hanya kelewat sibuk, namun pemilu juga sangat menguras dana dan kas negara, menguras energi dan pikiran seluruh bangsa, termasuk pula menguras kantong para calegnya. Itulah ongkos demokrasi yang sudah dipilih oleh bangsa Indonesia dengan pola pemilihan langsung semacam ini. Mudah-mudahan ke depannya pemilu dapat berlangsung semakin mudah, simple dan murah.
Namun betapapun boros dan berlebihannya pemilu, setidaknya hal ini melegakan sebagian besar pihak, karena rakyat memiliki hak penuh untuk menggunakan hak politiknya. Setelah era Orde Baru yang dikenal repressif dalam bidang politik, dimana kekuasaan hanya dimonopoli oleh Soeharto dan kroni-kroninya, di era reformasi ini rakyat dapat menikmati kebebasan politiknya sehingga tumbuh berbagai macam partai politik baru.
![Demokrasi Adalah Satu Pilihan Jalan Politik. Sepertimana Kita Memilih Buah.]()
Demokrasi adalah Satu Pilihan Jalan Politik. Seperti Kita Memilih Buah.
Ada partai yang tumbuh sejenak kemudian layu sebelum berkembang, ada yang tumbuh namun gagal ikut pemilu karena masalah administrasi yang tidak bisa dipenuhinya, ada yang tumbuh dan dapat ikut pemilu namun akhirnya harus minggir dari percaturan politik karena kurangnya dukungan masyarakat. Hingga saat ini diperkirakan hanya sekitar 10 partai politik yang dapat bertahan dan bisa duduk di parlemen mewakili konstituennya. Mudah-mudahan ke depannya, jumlah partai politik tidak akan semakin bertambah. Karena semakin banyak partai politik, otomatis akan semakin banyak biaya politik yang harus dikeluarkan.
Dari berbagai partai peserta pemilu yang ada, ada yang terang-terangan berasaskan Islam, ada yang berkonstituen Muslim namun bukan berasas Islam, ada pula yang tidak mau dikait-kaitkan dengan Islam, walaupun kalau musim pemilu sama-sama juga memperebutkan suara ummat Islam, karena realitas politik mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam.
Dari kalangan ummat Islam pun ada berbagai pandangan tentang sikap terhadap pemilu dan demokrasi. Ada yang setuju, dan ini merupakan pandangan mayoritas ummat Islam, ada yang menolak, ada pula yang sejatinya menolak namun terpaksa menerima karena tidak ada pilihan lain, alias darurat menerima.
Yang menolak selalu bersandar bahwa sistem demokrasi tidak dikenal dalam Islam. Karena sistem demokrasi memberikan peluang dan hak kepada masyarakat untuk membuat hukum dan undang-undang, hal yang seharusnya menjadi wewenang mutlak Allah SWT. Demokrasi adalah bid’ah (mengada-ada), sesat, sistem kufur dsb. Pokoknya harus ditolak.
Setelah sama-sama menolak, mereka pun masih terbagi menjadi tiga golongan. Golongan pertama, mereka yang menolak sistemnya dan semua hasil-hasilnya. Ada pula golongan kedua, yang menolak sistem dan aturan mainnya, namun mereka menerima hasilnya. Mereka terima dan hormati penguasa hasil pemilu dan produk-produk hukum dari sistem demokrasi yang ditolaknya. Ada pula yang ketiga, pura-pura menolak semua, namun seringkali mereka terpaksa menerima hasilnya, bahkan seringkali menitipkan aspirasi politiknya kepada partai-partai yang sebelumnya ditolaknya itu.
Mengapa ummat Islam berbeda dalam menyikapi fenomena pemilu dan demokrasi, padahal mereka masih sama-sama bersandar kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah serta sama-sama mencita-citakan masyarakat yang ideal seperti di masa Rasulullah SAW dan masa Khulafaur Rasyidin (kepemimpinan Islam yang adil dan ideal)?
Kalau dilihat sejujurnya, ada dua kutub pandangan yang sulit dipertemukan. Yang pertama, yang menerima demokrasi dan melihat demokrasi sebagai suatu kenyataan riil yang ada dan patut dipakai saat ini. Yang menolak demokrasi memandang sebaliknya, yaitu apa yang seharusnya ada. Satu berangkat dari realitas yang ada, yang kedua, apa yang dianggap harus ada. Mayoritas ummat Islam, berangkat dari menerima apa yang ada (realistis). Yang ada adalah demokrasi adalah sistem terbaik bagi bangsa Indonesia untuk memilih pemimpin dan wakil-wakilnya, mengatur negara, membuat undang-undang dsb. Walaupun demikian demokrasi tetaplah produk manusia yang pasti ada kelemahan dan kekurangannya bahkan masih mudah pula untuk dicurangi oleh manusia.
Dalam demokrasi semua pihak punya wakilnya, ada wakil dari berbagai daerah dan suku, wakil berbagai agama, wakil berbagai profesi, wakil dari berbagai kepentingan dsb. Supaya masing-masing pihak dapat diakomodir kemaslahatannya, maka demokrasi lah yang mengaturnya. Sehingga tidak terjadi pemaksaan kehendak masing-masing pihak.
Begitu pula siapa yang dapat menjadi kepala negara, akan diatur sedemikian rupa sehingga menjadi pemimpin tidak akan mudah semena-mena karena banyak pihak yang mengawasinya, ada yang mengawasi penggunaan anggaran negara, ada yang mengawasi hak-hak politik pemerintahnya dan berbagai pengawasan lainnya. Menjadi pemimpin pun dibatasi masa jabatannya hanya maksimal lima tahun sekali. Kalaupun berhasil, hanya dapat mengulang satu periode lagi kepemimpinannya, kalau tidak dibatasi , dikhawatirkan mereka cenderung berlaku korupsi dan membangun dinasti dsb. Prinsipnya, menjadi pemimpin itu tidak gampang, tanggungjawabnya tidak ringan, selain kepada Allah SWT dia juga dimintai pertangjawaban oleh rakyat dan wakil-wakilnya.
Hal ini berbeda jauh dengan sistem monarki atau kerajaan. Partisipasi masyarakat nyaris tidak ada, semuanya bergantung terhadap kehendak raja. Baik buruknya suatu bangsa tergantung kebijakan sang raja. Kalau raja berbuat baik, adil dan punya visi ke depan, masih lumayan, rakyat dapat ikut menikmati kesejahteraan, namun kalau raja berbuat buruk, sulit bagi rakyat, untuk menurunkan raja nya, kecuali dengan cara kekerasan dan pertumpahan darah. Namun dari sisi biaya, sistem monarkhi hemat biaya politik, karena tidak perlu ada pemilu, tidak perlu ada parlemen, dsb.
Bagi pihak penolak demokrasi karena berangkatnya dari apa yang seharusnya ada, demokrasi sudah pasti tidak akan pernah dapat memuaskan semua keinginannya. Maka pasti dia tolak. Mereka berkeinginan ideal, masyarakat harus sepenuhnya taat kepada Allah, menjalankan semua perintah Allah, tidak ada hak masyarakat untuk membuat hukum dan undang-undang yang bertentangan dengan syariat Allah, tidak ada hak masyarakat untuk melakukan pemungutan suara untuk hal-hal yang sudah disyariatkan. Masyarakat tinggal menjalankan saja, dsb.
Orang beriman tidak mau suaranya disamakan dengan orang fasik, musyrik, kafir dsb. Tetapi mereka lupa satu hal. Kita hidup di alam riil dan masa kini. Ada fakta, sekitar 15% penduduk Indonesia bukan beragama Islam. Yang 85% pun tidak semua setuju hidup diatur syariat. Ada Muslim tetapi liberal dan sekular, ada yang Muslim namun semangatnya untuk menggembosi aspirasi ummat Islam, ada Muslim tapi masa bodoh terhadap agamanya, ada Muslim tapi berfikirnya sederhana, yang penting ekonomi sejahtera, urusan lain tidak peduli, bahkan ada pula yang mengaku Muslim, namun sejatinya dia pengasong aliran sesat. Itulah semua fakta hidup yang harus kita hadapi saat ini.
Kalau orang yang merasa beriman berbeda bobotnya dengan orang tidak beriman, sedangkan dalam pemilu, suara semua orang nilainya sama, terus dia ngambek tidak mau ikut pemilu karena pelaku maksiat juga ikut pemilu. Terus bagaimana caranya untuk membagi masyarakat antara yang beriman dan yang tidak beriman? Yang beriman dapat ikut pemilu dan yang tidak beriman tidak usah ikut pemilu. Kalau nanti yang jadi ukurannya tingkat pendidikan, bisa saja orang-orang yang berpendidikan SI, S2 dan S3 juga ikut ngambek karena suaranya sama nilainya dengan orang-orang yang tidak lulus SD. Terus kalau ukurannya kekayaan, terus nanti para konglomerat dan para hartawan lainnya, bisa-bisa tidak mau ikut pemilu kalau suaranya disamakan dengan orang-orang miskin. Pasti semua tambah repot. Jadi semangat satu orang satu suara dalam sistem demokrasi itu sudah cukup adil, walaupun pasti tidak dapat memuaskan semua orang.
Kalau kita kembali ke masyarakat ideal yang dicita-citakan kaum idealis tadi, yaitu terwujudnya masyarakat ideal seperti pada masa Nabi dan Khulafaur Rasyidin, dimana masyarakat Islam hidup dalam naungan syariat Allah. Jangan dilupakan, sistem pengangkatan keempat Khalifah yang dimulai dari terpilih Abubakar Ash-Shiddiq RA sebagai Khalifah, dilanjutkan oleh Umar bin Khathab RA, terus dilanjutkan oleh Khalifah Utsman bin Affan RA dan diakhiri oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib RA. Semua metode pengangkatannya berbeda-beda. Jadi kalau sistem demokrasi dan pemilu dianggap sistem bid’ah dan harus ditolak, terus yang sunnah itu yang bagaimana?
Khalifah Abu Bakar RA dipilih secara aklamasi di Saqifah Bani Sa’iddah (suatu tempat pertemuan masyarakat di Madinah saat itu) ketika sepeninggal Rasul, kaum Anshar selaku penduduk asli Madinah berniat memilih pemimpinnya sendiri, namun berhasil dicegah dan diganti dengan pemimpin yang paling cocok yaitu Khalifah Abu Bakar RA. Begitu pula sebelum Khalifah Abu Bakar RA meninggal, beliau sudah berwasiat agar sepeninggal beliau nanti haruslah Umar bin Khathab RA yang menggantikan. Begitu pula ketika Khalifah Umar RA menjelang meninggal, beliau telah membentuk tim formatur (anggota dewan) yang dipilih dari shahabat-shahabat utama untuk memilih khalifah pengganti beliau, maka jadilah Utsman bin Affan RA sebagai khalifah selanjutnya. Setelah Khalifah Utsman meninggal, tinggal satu orang yang paling layak diangkat sebagai khalifah, karena tinggal beliau manusia yang paling baik dan layak untuk menjadi khalifah, maka tampillah Khalifah Ali bin Abi Thalib RA sebagai khalifah keempat atau terakhir masa Khulafaur Rasyidin, selanjutnya adalah masa-masa kerajaan.
Itu pun harus dipahami semua khalifah pun mendapatkan masalah yang tidak kecil, ada yang diganggu dengan munculnya nabi-nabi palsu, ada yang diganggu dengan pembangkangan dari sebagian rakyat dan pejabatnya, dsb. Semua pemimpin memiliki problem yang berbeda di setiap zamannya. Yang dahulu merupakan problem besar, bisa saja di masa sekarang sudah bukan problem lagi. Begitu pula sebaliknya, yang di masa lampau itu bukan merupakan masalah, bisa saja sekarang menjadi masalah serius yang harus diprioritaskan.
Jadi kalau sistem pemilu langsung dianggap bid’ah dan sesat, tolong jelaskan model pemilihan pemimpin Islam yang bagaimana yang dianggap Sunnah? Ada yang aklamasi, ada karena wasiat, ada karena sistem formatur atau langsung penunjukkan. Semuanya berbeda. Kalau Sunnah biasanya hanya satu cara. Tapi sejarah Islam memberikan pengalaman ada empat cara yang berbeda. Dengan demikian kenapa kita harus membid’ahkan dan menyalahkan cara pemilu dalam demokrasi kalau ini juga hanya sekedar berbeda “caranya”?
Setelah kita bahas masalah “cara”, sekarang kita akan bahas masalah “output-nya”. Apakah sistem demokrasi dapat memuaskan keinginan ummat Islam? Namanya juga demokrasi, sudah pasti tidak akan memuaskan semua orang. Ada keberhasilan-keberhasilan, namun ada pula ketidakberhasilan-ketidakberhasilan, ada yang didapat, namun ada pula yang terlepas, tergantung bargaining masing-masing pihak. Jangankan kita, Nabi pun ketika mengadakan Perjanjian Hudaibiyah dengan pihak Musyirikan Mekkah, harus rela membuang klausul “Dari Muhammad Rasullulah….” Cukup diganti dengan istilah “Dari Muhammad bin Abdillah…” karena ingin kompromi dengan pihak lawan. Dan masih banyak hal lagi yang harus diberikan konsesi terhadap pihak lawan, padahal mayoritas Shahabat Nabi tidak rela dengan hal itu dan menginginkan konfrontasi senjata. Namun Rasulullah SAW tetap mengutamakan kompromi dan musyawarah, dibanding melakukan peperangan.
Kalau kita mau belajar sejarah Islam, harusnya kita belajar dengan sistem yang dibuat oleh Khalifah Umar bin Khathab RA yaitu dengan memilih orang-orang yang berkompeten sebagai tim formatur untuk memilih pemimpin selanjutnya. Yang mungkin menjadi masalah disini, di masyarakat modern sekarang yang masyarakatnya heterogen dan plural otomatis wakil rakyat akan semacam itu. Ada Muslim, ada non-Muslim, ada sekular dll. Semua membawa dan mewakili konstituennya. Kalau di masyarakat yang Islam dan serba homogen, mungkin urusannya lebih sederhana dan nyaman. Namun di masyarakat yang heterogen seperti di Indonesia saat ini, sudah pasti membutuhkan kompromi-kompromi politik, negosiasi, koalisi, lobbi-lobbi politik dsb. Yang penting semuanya masih dalam koridor yang sehat yaitu menyepakati aturan main yang dibuat bersama. Memang tidak semua keinginan ummat Islam dapat dipenuhi, karena pihak ‘mereka’ juga akan memperjuangkan segala keinginannya. Semakin tinggi dukungan dan partisipasi politik ummat Islam, maka semakin besar capaian ummat Islam di bidang politik.
Kalau masalahnya mengapa masih banyak ummat Islam yang tidak mendukung kepentingan ummat Islam? Itulah tugas kita semua, tugas para dai dan kita semua untuk berdakwah dan berjihad menjelaskan ke mereka yang apriori terhadap segala hal yang berbau syariat Islam bagaimana ajaran Islam jika diterapkan mampu mengayomi semua warga negara baik itu Muslim maupun non-Muslim itu sendiri. Karena Islam adalah Rahmatan lil Alamin (rahmat untuk semua makhluk).
Dan perjuangan politik Islam merupakan jihad yang paling berat dan tinggi, karena sandungan dan ujiannya paling banyak dan berat baik dari kalangan non-Muslim, liberal sekular, maupun kaki tangan asing yang tidak akan tinggal diam seandainya ummat Islam berkuasa. Bagi kapitalis asing, perjuangan politik Islam adalah batu sandungan yang paling berat untuk dihadapi, karena politisi Islam adalah orang-orang yang paling susah untuk dibeli, paling susah diajak menuruti kehendak asing, paling anti korupsi, dan paling peduli terhadap rakyat kecil dan paling adil baik terhadap ummat Islam maupun non-Muslim sehingga akan menghalangi upaya pihak-pihak luar untuk bermain dan mengeksploitasi bangsa ini. Karena mereka ini merupakan orang yang paling takut kepada Allah SWT dan setiap gerak-geriknya selalu dipantau oleh Allah SWT.
Walaupun demikian, banyak juga politisi Muslim yang gagal mengemban amanah ini karena dapat saja tersandung masalah korupsi, kolusi, dan nepotisme. Gagal dapat saja karena niatnya yang sudah salah, yaitu bukan untuk memperjuangan Islam dan rakyat, namun politik hanya dijadikan kendaraan untuk memperkaya diri sendiri, mementingkan golongannya, atau sekedar menambah nilai prestise di masyarakat. Andaikata pun tidak gagal, perjuangan politik Islam pun masih tetap panjang dan belum cukup juga, masih harus didukung oleh para dai di bidang lain, baik yang peduli di bidang pendidikan, dakwah, ekonomi, sosial dan budaya. Untuk itu, di masyarakat yang ummat Islam merupakan minoritas pun, perjuangan politik Islam tetap saja dibutuhkan karena tugas para dai dan politisi Muslim tidak akan pernah selesai.
Bagi kalangan yang masih tidak percaya bahwa demokrasi selain sebagai keniscayaan, juga efektif sebagai alat perjuangan, mereka sejatinya masih kebingungan sendiri, antara hidup di alam realitas dan idealitas. Realitas yang ada mereka tolak, idealisme yang seharusnya ada juga masih samar ‘wujud’nya. Akhirnya mereka secara tidak langsung malah mengikhlaskan dirinya menjadi masyarakat pinggiran, bagian yang ditentukan, bukan mengambil bagian yang menentukan.
Ada yang lari dan senang menggunakan cara konfrontasi dan kekerasan terhadap penguasa, akibatnya banyak yang berakhir di balik penjara, bahkan tewas terbunuh oleh aparat negara. Ada yang senang mencela demokrasi, namun terhadap penguasa hasil produk demokrasi yang dicelanya, mereka melakukan ketundukan dan kepatuhan yang melampaui batas, sehingga sedikit pun tidak memiliki daya kritis, bahkan sekedar berdemontrasi terhadap kebijakan pemerintah yang dirasa negatif pun mereka salahkan . Ada pula yang terus sibuk menyampaikan wacana demi wacana tentang pemerintahan Islam yang benar, namun tidak sempat berbuat riil apapun, karena dia sudah terlanjur menjauhi kehidupan politik yang ada.
Ada kaidah fikih yang cukup terkenal yang dapat kita pakai, “Sesuatu yang tidak dapat diambil semua, janganlah ditinggalkan semua.” Kalau dalam demokrasi kita baru mendapat sekian persen dari perjuangan, janganlah berputus asa, karena sejatinya energi kita yang kita berikan baru sekian persen pula. Jangan lupa, kaum liberal, sekular, non-Muslim, kapitalis asing juga tidak sedikit telah mengucurkan dana, pikiran, dan jaringan media dan energi yang dimilikinya. Otomatis sunnatullah berlaku, siapa yang banyak menanam dia akan banyak menuai.
Kalau kita ingin mendapat lebih banyak hasil, haruslah berjuang lebih banyak lagi. Kalau kita merasa capai dan lelah, sesungguhnya mereka juga merasa capai dan lelah. Kalau kita merasa banyak mengeluarkan dana, sesungguhnya mereka mengeluarkan danalebih banyak lagi. Perjuangan masih panjang dan tidak boleh berhenti.
“Jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya mereka (musuhmu) pun menderita (kesakitan) seperti yang kamu derita; hanya saja kamu mengharap (pahala) dari Allah apa yang tidak bisa mereka harapkan. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” [QS. An-Nisa’: 104].
*) Penulis adalah pemerhati gerakan dakwah dan politik Islam. Tulisan ini sudah dimuat di situs Hidayatullah.com, dan kami muat lengkap dengan sedikit editing.